Senin, 05 Desember 2016

Sistem mata pencaharian kajian antropologi



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Antropologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka macam warna, fisik dan kebudayaan yang dihasilkannya. Adapun dalam kajian Antropologi terdapat kerangka Etnografi yakni gambaran mengenai suku bangsa atau suatu golongan masyarakat yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan kesatuan kebudayaan. Mengenai gambaran suku bangsa berdasarkan kerangka Etnografi ini dibagi dalam 9 bidang yaitu : dari segi lingkungan alam, lokasi dan demografi, asal usul dan sejarah suku bangsa, bahasa, sistem teknologi, sistem mata pencaharian, organisasi sosial, sistem pengetahuan, kesenian, dan sistem religi.
Adapun dalam makalah ini fokus membahas tentang gambaran suku bangsa dari segi sistem mata pencaharian. Mata pencaharian merupakan suatu susunan cara pokok pencaharian atau pekerjaan. Dalam klasifikasinya, yang sering dibahas oleh antropolog adalah berburu atau meramu, beternak, bercocok tanam, dan menangkap ikan.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pengertian sistem Mata Pencaharian ?
2.      Apa saja macam dari sistem Mata Pencaharian ?
3.      Seperti apa gambaran studi kasus dari salah satu macam sistem Mata
Pencaharian ?











BAB II
SISTEM MATA PENCAHARIAN

A.    Pengertian Sistem Mata Pencaharian
Dalam kamus bahasa Indonesia pengertian sistem mata pencaharian terpecah atau terbagi menjadi dua kata, yaitu kata sistem dan kata matapencaharian. Sistem berarti susunan aturan ( cara )[1] dan mata pencaharian yang berarti pokok pencaharian ( pekerjaan )[2] . jadi sistem mata pencaharian adalah suatu susunan aturan atau suatu susunan cara pokok pencaharian atau pekerjaan.
B.     Macam Sistem Mata Pencaharian
Perhatian para ahli antropologi terhadap berbagai macam sistem mata pencaharian atau sistem ekonomi hanya terbatas kepada sistem-sistem yang bersifat tradisional saja, terutama dalam rangka perhatian mereka terhadap kebudayaan sesuatu suku bangsa secara holistik[3]. Ada beberapa bentuk, yang biasanya mencakup berburu atau meramu, beternak, bercocok tanam dan menangkap ikan[4]. Adapun berikut adalah uraian dari berbagai sistem tersebut :
1.      Berburu dan Meramu ( hunting and gathering )
Menurut definisinya, pemburu-pemburu adalah orang yang tidak bercocok tanam atau memelihara binatang. Oleh karena itu mereka harus menyesuaikan tempat kediaman mereka dengan adanya sumber pangan alamiah. Maka tidak mengherankan apabila mereka harus sering berpindah-pindah tempat[5].
Berburu dan meramu merupakan sistem mata pencaharian manusia yang paling tua, tetapi pada masa sekarang sebagian besar manusia telah beralih ke mata pencaharian lain dan hanya sedikit saja yang masih hidup dari berburu dan meramu, seperti masyarakat di rawa-rawa pantai Irian Jaya, yang hidup dari berburu dan meramu sagu.
Dalam kaitan dengan mata pencaharian ini, ada beberapa hal yang menarik perhatian para antropolog[6], yaitu :
-          Hak ulayat atau kewenangan untuk memiliki sebidang lahan berburu, sumber air, hak milik atas alat-alat berburu, senjata-senjata, perangkap, dan sebagainya.
-          Teknik dan cara berburu termasuk cara-cara yang mendasarkan diri pada ilmu gaib dengan tujuan mempertinggi hasil buruan.
-          Adat kebiasaan yang berkaitan dengan pembagian hasil buruan kepada kaum kerabat, tetangga dan sebagainya termasuk juga sistem pembagian hasil antara mereka yang terlibat dalam proses berburu itu.
2.      Beternak
Bangsa yang memiliki mata pencaharian beternak biasanya tinggal di gurun, sabana atau stepa. Misalnya peternak dari Asia Tengah yang tinggal di stepa dan sabana memelihara domba, kambing dan kuda. Peternak di daerah gurun dan stepa di Afrika Utara memelihara unta dan kuda, sedangkan peternak di daerah sabana dan stepa di daerah Afrika Timur dan Selatan memelihar sapi.
Dalam mempelajari masyarakat peternak, antropologi juga menaruh perhatian terhadap masalah tanah peternakan dan modal, masalah tenaga kerja serta produksi dan teknologi produksi yang tidak hanya meliputi cara pemeliharaan ternak, tetapi cara pembuatan mentega, keju, dan hasil-hasil susu lainnya yang pada akhirnya juga membahas masalah konsumsi, distribusi dan pemasaran hasil peternakan.

3.      Bercocok tanam di ladang
Cara bercocok tanam di ladang dengan membuka sebidang tanah dengan memotong belukar dan pohon-pohon, kemudian dahan-dahan dan batang-batang yang jatuh dibakar setelah kering. Ladang-ladang yang dibuka dengan cara ini kemudian ditanami sama dengan ladang yang pertama yang sudah tertutup dengan hutan kembali[7].
Biasanya di ladang ini mereka membuat gubuk sederhana, yang berfungsi serba guna, baik sebagai tempat beristirahat pada saat bekerja, tempat menjaga kebun, maupun sebagai tempat penampungan sementara hasil ladang yang dipanen. Dalam kaitan ini, antropolog menaruh perhatian pada proses pembukaan tanah, pengolahan, dan hubungan dengan para kerabat. Juga alat-alat yang digunakan untuk proses pengolahan tanah, serta proses pengawetan dan penyimpanan hasil panenan mereka[8].
Cara ini sebagian besar dilakukan di daerah rimba tropik, seperti di Kepuluan Asia Tenggara , daerah sungai Kongo di Afrika dan sungai Amazone di Amerika Selatan.
     
4.      Menangkap Ikan
Mata pencaharian ini dilakukan oleh masyarakat yang tinggal dekat dengan sungai, danau atau laut. Bagi masyarakat yang bercocok tanam maka menangkap ikan sering dilakukan sebagai mata pencaharian tambahan. Para nelayan menangkap ikan di laut dengan jarak 10 hingga 30 km dari pantai. Ilmu antropologi dalam hal ini juga mengkaji tentang distribusi dan pemasaraan ikan serta cara pengawetan ikan.
     
5.      Bercocok tanam menetap dengan irigasi
Bercocok tanam menetap muncul untuk pertama kalinya di daerah di dunia yang terletak terutama daerah perairan sungai-sungai besar yang subur tanahnya, seperti daerah perairan sungai Nil atau Sungai Eufrat dan Tigris[9]. Para antropolog menaruh perhatian pada masalah pemilikan tanah, soal tenaga kerja, soal-soal organisasi irigasi, pembagian air, sistem konsumsi, distribusi, pemasaran, pengawetan, dan penyimpanan hasil panen[10].





Gambar bercocok tanam menetap dengan irigasi
     
Contoh salah satu dari macam sistem mata pencaharian
Di daerah Kabupaten Batang, Jawa Tengah yang wilayahnya merupakan termasuk daerah pantai pesisir utara maka sebagian besar dari masyarakat Batang banyak yang memiliki mata pencaharian sebagai nelayan atau menangkap ikan terutama di daerah keluarahan Karangasem Utara, Klidang wetan, dan Klidang Lor. Masyarakat setempat biasanya menangkap ikan di Pantai sigandu dan sering mangkal di pelabuhan kapal kota Batang yang baru-baru ini dibangun oleh pemerintah setempat guna memfasilitasi dan meningkatkan ekonomi dari segi perairan.
Dari hasil penangkapan ikan tersebut, sangat membantu kondisi perekonomian masyarakat karena dari hasil tangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan laki-laki selanjutnya dikelola oleh masyarakat
Kawasan pantai Sigandu yang sekarang menjadi pusat pelelangan ikan sudah sangat membantu perekonomian masyarakat dan untuk pemerintahan Batang sendiri.  Terbukti dengan dibangunnya pelabuhan kapal ikan pada tahun 2014 kini produksi ikan yang didaratkan sudah mencapai 25.682.257 kg dengan nilai Raman sebesar Rp 80.026.280.700,-

Suasana di TPI ( Tempat pelelangan ikan ) kabupaten Batang
















BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dari pembahasan yang ada pada bab sebelumnya, kesimpulan yang dihasilkan yakni bahwa pengertian dari sistem mata pencaharian merupakan suatu susunan aturan atau suatu susunan cara pokok pencaharian atau pekerjaan.
Adapun untuk macam dari sistem mata pencaharian sendiri yang sering dibahas atau dibicarakan maupun disinggung oleh rata-rata antropolog adalah seputar cakupan berburu atau meramu, beternak, bercocok tanam baik di ladang maupun dengan sistem irigasi, dan menangkap ikan. Bisa juga dikatakan bahwa kajian dari para antropolog hanya terbatas pada sistem mata pencaharian tradisional.




DAFTAR PUSTAKA

HAVILAND, William A. Antropologi terj. R. G. Soekadijo, Jakarta:Erlangga, 1993
Huky, D. A . wila. Antropologi, Surabaya : Usaha Nasional, 1994
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta : Aksara Baru, 1979
Wojowasito, S. Kamus Bahasa Indonesia, Malang : CV. Pengarang, 1972




[1] S. Wojowasito, Kamus Bahasa Indonesia, ( Malang : CV. Pengarang, 1972 ), hlm. 387
[2] Ibid., hlm. 243
[3] Koenjtaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, ( Jakarta: Aksara Baru, 1979 ), hlm. 358
[4] D. A. Wila Huky, Antropologi, ( Surabaya : Usaha Nasional, 1994 ), hlm. 79-80
[5] William A. Haviland, Antropologi terj. R. G. Soekadijo ( Jakarta : Erlangga, 1993 ), hlm. 18
[6] Huky, Antropologi, hlm. 80
[7] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, hlm. 359-363
[8] Huky, Antropologi, hlm. 82
[9] Koentjaraningrat, Pengantar, hlm. 365
[10] Huky, Antropologi, hlm. 82

Tidak ada komentar:

Posting Komentar