BAB I
A.
Latar
Belakang
Antropologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang
umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka macam warna, fisik dan
kebudayaan yang dihasilkannya. Adapun dalam kajian Antropologi terdapat
kerangka Etnografi yakni gambaran mengenai suku bangsa atau suatu golongan
masyarakat yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan kesatuan kebudayaan.
Mengenai gambaran suku bangsa berdasarkan kerangka Etnografi ini dibagi dalam 9
bidang yaitu : dari segi lingkungan alam, lokasi dan demografi, asal usul dan
sejarah suku bangsa, bahasa, sistem teknologi, sistem mata pencaharian,
organisasi sosial, sistem pengetahuan, kesenian, dan sistem religi.
Adapun dalam makalah ini fokus membahas tentang
gambaran suku bangsa dari segi sistem mata pencaharian. Mata pencaharian
merupakan suatu susunan cara pokok pencaharian atau pekerjaan. Dalam
klasifikasinya, yang sering dibahas oleh antropolog adalah berburu atau meramu,
beternak, bercocok tanam, dan menangkap ikan.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
pengertian sistem Mata Pencaharian ?
2. Apa
saja macam dari sistem Mata Pencaharian ?
3. Seperti
apa gambaran studi kasus dari salah satu macam sistem Mata
Pencaharian ?
BAB
II
SISTEM
MATA PENCAHARIAN
A. Pengertian
Sistem Mata Pencaharian
Dalam kamus bahasa Indonesia pengertian sistem mata
pencaharian terpecah atau terbagi menjadi dua kata, yaitu kata sistem dan kata
matapencaharian. Sistem berarti susunan aturan ( cara )[1]
dan mata pencaharian yang berarti pokok pencaharian ( pekerjaan )[2] .
jadi sistem mata pencaharian adalah suatu susunan aturan atau suatu susunan
cara pokok pencaharian atau pekerjaan.
B. Macam
Sistem Mata Pencaharian
Perhatian para ahli antropologi terhadap berbagai
macam sistem mata pencaharian atau sistem ekonomi hanya terbatas kepada sistem-sistem
yang bersifat tradisional saja, terutama dalam rangka perhatian mereka terhadap
kebudayaan sesuatu suku bangsa secara holistik[3].
Ada beberapa bentuk, yang biasanya mencakup berburu atau meramu, beternak,
bercocok tanam dan menangkap ikan[4].
Adapun berikut adalah uraian dari berbagai sistem tersebut :
1.
Berburu
dan Meramu ( hunting and gathering )
Menurut
definisinya, pemburu-pemburu adalah orang yang tidak bercocok tanam atau
memelihara binatang. Oleh karena itu mereka harus menyesuaikan tempat kediaman
mereka dengan adanya sumber pangan alamiah. Maka tidak mengherankan apabila
mereka harus sering berpindah-pindah tempat[5].
Berburu dan meramu
merupakan sistem mata pencaharian manusia yang paling tua, tetapi pada masa
sekarang sebagian besar manusia telah beralih ke mata pencaharian lain dan
hanya sedikit saja yang masih hidup dari berburu dan meramu, seperti masyarakat
di rawa-rawa pantai Irian Jaya, yang hidup dari berburu dan meramu sagu.
Dalam
kaitan dengan mata pencaharian ini, ada beberapa hal yang menarik perhatian
para antropolog[6],
yaitu :
-
Hak ulayat atau kewenangan untuk
memiliki sebidang lahan berburu, sumber air, hak milik atas alat-alat berburu,
senjata-senjata, perangkap, dan sebagainya.
-
Teknik dan cara berburu termasuk
cara-cara yang mendasarkan diri pada ilmu gaib dengan tujuan mempertinggi hasil
buruan.
-
Adat kebiasaan yang berkaitan dengan
pembagian hasil buruan kepada kaum kerabat, tetangga dan sebagainya termasuk
juga sistem pembagian hasil antara mereka yang terlibat dalam proses berburu
itu.
Bangsa
yang memiliki mata pencaharian beternak biasanya tinggal di gurun, sabana atau
stepa. Misalnya peternak dari Asia Tengah yang tinggal di stepa dan sabana
memelihara domba, kambing dan kuda. Peternak di daerah gurun dan stepa di
Afrika Utara memelihara unta dan kuda, sedangkan peternak di daerah sabana dan
stepa di daerah Afrika Timur dan Selatan memelihar sapi.
Dalam
mempelajari masyarakat peternak, antropologi juga menaruh perhatian terhadap
masalah tanah peternakan dan modal, masalah tenaga kerja serta produksi dan
teknologi produksi yang tidak hanya meliputi cara pemeliharaan ternak, tetapi
cara pembuatan mentega, keju, dan hasil-hasil susu lainnya yang pada akhirnya
juga membahas masalah konsumsi, distribusi dan pemasaran hasil peternakan.
3.
Bercocok
tanam di ladang
Cara
bercocok tanam di ladang dengan membuka sebidang tanah dengan memotong belukar
dan pohon-pohon, kemudian dahan-dahan dan batang-batang yang jatuh dibakar
setelah kering. Ladang-ladang yang dibuka dengan cara ini kemudian ditanami
sama dengan ladang yang pertama yang sudah tertutup dengan hutan kembali[7].
Biasanya
di ladang ini mereka membuat gubuk sederhana, yang berfungsi serba guna, baik
sebagai tempat beristirahat pada saat bekerja, tempat menjaga kebun, maupun
sebagai tempat penampungan sementara hasil ladang yang dipanen. Dalam kaitan
ini, antropolog menaruh perhatian pada proses pembukaan tanah, pengolahan, dan
hubungan dengan para kerabat. Juga alat-alat yang digunakan untuk proses
pengolahan tanah, serta proses pengawetan dan penyimpanan hasil panenan mereka[8].
Cara
ini sebagian besar dilakukan di daerah rimba tropik, seperti di Kepuluan Asia
Tenggara , daerah sungai Kongo di Afrika dan sungai Amazone di Amerika Selatan.
4.
Menangkap
Ikan
Mata
pencaharian ini dilakukan oleh masyarakat yang tinggal dekat dengan sungai,
danau atau laut. Bagi masyarakat yang bercocok tanam maka menangkap ikan sering
dilakukan sebagai mata pencaharian tambahan. Para nelayan menangkap ikan di
laut dengan jarak 10 hingga 30 km dari pantai. Ilmu antropologi dalam hal ini
juga mengkaji tentang distribusi dan pemasaraan ikan serta cara pengawetan
ikan.
5.
Bercocok
tanam menetap dengan irigasi
Bercocok
tanam menetap muncul untuk pertama kalinya di daerah di dunia yang terletak terutama
daerah perairan sungai-sungai besar yang subur tanahnya, seperti daerah
perairan sungai Nil atau Sungai Eufrat dan Tigris[9].
Para antropolog menaruh perhatian pada masalah pemilikan tanah, soal tenaga
kerja, soal-soal organisasi irigasi, pembagian air, sistem konsumsi,
distribusi, pemasaran, pengawetan, dan penyimpanan hasil panen[10].
Gambar
bercocok tanam menetap dengan irigasi
Contoh salah satu dari
macam sistem mata pencaharian
Di
daerah Kabupaten Batang, Jawa Tengah yang wilayahnya merupakan termasuk daerah
pantai pesisir utara maka sebagian besar dari masyarakat Batang banyak yang
memiliki mata pencaharian sebagai nelayan atau menangkap ikan terutama di
daerah keluarahan Karangasem Utara, Klidang wetan, dan Klidang Lor. Masyarakat
setempat biasanya menangkap ikan di Pantai sigandu dan sering mangkal di
pelabuhan kapal kota Batang yang baru-baru ini dibangun oleh pemerintah
setempat guna memfasilitasi dan meningkatkan ekonomi dari segi perairan.
Dari
hasil penangkapan ikan tersebut, sangat membantu kondisi perekonomian
masyarakat karena dari hasil tangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan
laki-laki selanjutnya dikelola oleh masyarakat
Kawasan
pantai Sigandu yang sekarang menjadi pusat pelelangan ikan sudah sangat
membantu perekonomian masyarakat dan untuk pemerintahan Batang sendiri. Terbukti dengan dibangunnya pelabuhan kapal
ikan pada tahun 2014 kini produksi ikan yang didaratkan sudah mencapai
25.682.257 kg dengan nilai Raman sebesar Rp 80.026.280.700,-
Suasana di TPI ( Tempat pelelangan ikan ) kabupaten
Batang
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari
pembahasan yang ada pada bab sebelumnya, kesimpulan yang dihasilkan yakni bahwa
pengertian dari sistem mata pencaharian merupakan suatu susunan aturan atau
suatu susunan cara pokok pencaharian atau pekerjaan.
Adapun
untuk macam dari sistem mata pencaharian sendiri yang sering dibahas atau
dibicarakan maupun disinggung oleh rata-rata antropolog adalah seputar cakupan
berburu atau meramu, beternak, bercocok tanam baik di ladang maupun dengan
sistem irigasi, dan menangkap ikan. Bisa juga dikatakan bahwa kajian dari para
antropolog hanya terbatas pada sistem mata pencaharian tradisional.
DAFTAR PUSTAKA
HAVILAND, William A. Antropologi terj. R. G. Soekadijo,
Jakarta:Erlangga, 1993
Huky, D. A . wila. Antropologi, Surabaya : Usaha
Nasional, 1994
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta :
Aksara Baru, 1979
Wojowasito, S. Kamus Bahasa Indonesia, Malang : CV. Pengarang, 1972
[1] S. Wojowasito, Kamus Bahasa Indonesia, ( Malang : CV.
Pengarang, 1972 ), hlm. 387
[2] Ibid., hlm. 243
[3] Koenjtaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, ( Jakarta:
Aksara Baru, 1979 ), hlm. 358
[4] D. A. Wila Huky, Antropologi, ( Surabaya : Usaha
Nasional, 1994 ), hlm. 79-80
[5] William A. Haviland, Antropologi terj. R. G. Soekadijo (
Jakarta : Erlangga, 1993 ), hlm. 18
[6] Huky, Antropologi, hlm. 80
[7] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, hlm. 359-363
[8] Huky, Antropologi, hlm. 82
[9] Koentjaraningrat, Pengantar, hlm. 365
[10] Huky, Antropologi, hlm. 82
Tidak ada komentar:
Posting Komentar