Senin, 05 Desember 2016

Amir Ali sang Pembaharu



Sayyid Amir Ali
A.    Latar belakang kehidupan
Sayyid Amir Ali berasal dari keluarga syi’ah yang di zaman Nadir Syah ( 1736-1747 ) pindah ke Khurasan di Persia ke India. Keluarga itu kemudian bekerja di Istana Raja Mughal. Sayyid Amir Ali lahir di Outtack tahun 1849, dan meninggal pada usia tujuh puluh sembilan pada tanggal 3 Agustus 1928 di Susses, Inggris.[1] Ia memperoleh pendidikan di Perguruan tinggi Muhsiniyya yang berada di dekat Kalkuta dan dari sinilah ia belajar bahasa Arab. Selanjutnya ia belajar bahasa dan sastra Inggris serta Hukum Inggris.
Di tahun 1869 ia pergi ke Inggris untuk meneruskan studi dan selesai tahun 1873 dengan memperoleh kesarjanaan dalam bidang hukum. Selesai dari studi ia kembali ke India dan pernah bekerja sebagai pegawai pemerintah Inggris, pengacara, hakim, dan guru besar dalam hukum Islam.ia terkenal dalam aktivitasnya di bidang politik dan buku karangan beliau yang berjudul The Spirit Of Islam dan A Short History of the Saracens .[2]
Di tahun 1883 ia diangkat menjadi salah satu dari ketiga anggota Majlis Wakil Raaja Inggris di India. Ia adalah satu-satunya anggota Islam dalam Majlis itu. Tahun 1904 ia meninggalkan India dan menetap untuk selama-lamanya di Inggris, bahkan ia beristrikan wanita Inggris. Disana ia diangkat menjadi anggota India yang pertama dalam Judicial Committe of Privacy Council pada tahun 1909.[3]
B.     Kontribusi dan Pemikiran
Pada tahun 1877 ia mendirikan National Muhammedan Association, sebagai wadah persatuan umat Islam dan untuk melatih mereka dalam bidang politik. Setelah berdirinya Liga Muslimin India di tahun 1906 ia membentuk cabang dari perkumpulan Judicial Committe of Privacy di London. Ketika India menuntut kemerdekaan untuk India maka ia mengundurkan diri dari Liga Muslimin.[4]
Sayyid Amir Ali juga merupakan seorang pemimpin yang dekat dengan pemerintahan Inggris di Inida. Dia melihat pemerintahan Inggris adalah suatu alternatif untuk menghindari pengaruh Hindu setelah memperoleh kemerdekaan dari kerajaan Inggris.[5]
Sayyid Amir Ali berpendapat dan berkeyakinan bahwa Islam bukanlah agama yang membawa kepada kemunduran melainkan membawa kemajuan dengan pembuktian yang ada pada Sejarah Islam Klasik sehingga ia dicap sebagai penulis orientalis atau apologis.[6]
Sayyid Amir Ali merupakan pemikir pertama yang kembali ke sejarah lama untuk membawa bukti bahwa Islam adalah agama rasional dan agama kemajuan, hal ini ia tuangkan dalam bukunya yang berjudul The Spirit Of Islam yang dicetak pertama kalinya di tahun 1891. Dalam buku itu ia kupas ajaran-ajaran Islam mengenai Tauhid, ibadat, hari akhirat, kedudukan wanita, perbudakan, sistem politik, dan sebagainya. Ia juga menjelaskan kemajuan ilmu pengetahuan dan pemikiran rasional dan filosofis yang terdapat dalam sejarah Islam. Metode yang ia pakai adalah metode perbandingan ditambah uraian rasional, ia terlebih dahulu membawa ajaran-ajaran serupa dari agama lain kemudian menjelaskan bahwa Islam membawa perbaikan dari ajaran-ajaran yang bersangkutan.[7]
Mengenai ajaran tentang akhirat, umpamanya ia menjelaskan bahwa keinginan manusia untuk dapat bersatu kembali dengan orang-orang yang dikasihi dan disayangi, sesudah dipisahkan oleh kematian, kepercayaan akan hal ini bahkan ada pada ajaran yang dianut bangsa Mesir terdahulu yakni agama Yahudi yang timbul kemudian. Sayyid Amir Ali menegaskan bahwa di akhirat nanti tiap orang harus mempertanggungjawabkan segala perbuatannya di dunia ini. Kesenangan dan kesengsaraan seseorang bergantung pada perbuatannya di hidup pertama, inilah keyakinan pokok yang harus diterima dalam Islaam mengenai akhirat.[8]
Selanjutnya ia menjelaskan  bahwa ajaran mengenai akhirat itu amat besar arti dan pengaruhnya dalam mendorong manusia untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat. Dalam membahas soal perbudakan, Sayyid Amir Ali menerangkan bahwa sistem perbudakan sudah ada sejak zaman purba dan ada pada masyarakat manusia seluruhnya. Dalam agama Kristen, tidak ada ajaran untuk menghapus sistem perbudakan itu. Islam berlainan dengan agama-agama sebelumnya, yang datang dengan ajaran untuk membebaskan budak. Budak harus diberikan kesempatan untuk membeli kemerdekaannya dengan upah yang ia peroleh, budak harus pula diperlakukan dengan baik dan tidak boleh di diskriminasi dengan manusia lain. Ajaran ini akhirnya membawa kepada penghapusan sistem perbudakan dalam Islam.[9]
Amir Ali berpendapat bahwa kemunduran umat Islam disebabkan karena umat pada zaman modern menganggap pintu ijtihad telah tertutup. Orang harus tunduk pada pendapat Ulama abad ke sembilan Masehi, yang tidak mengetahui kebutuhan abad kedua puluh. Umat Islam Zaman Modern tidak percaya pada kekuatan akal, sedang Nabi Muhammad memberi penghargaan tinggi dan mulia terhadap akal manusia. Berbeda dengan ulama sekarang yang cenderung beranggapan bahwa memuliakan akal merupakan bentuk kejahatan dan dosa.[10]
Perhatian kepada ilmu pengetahuan telah dimulai di zaman Khulafa’ al-Rasyidin diwujudkan dengan bentuk ceramah oleh Ali ibn Abbas tentang sasta, tata bahasa, sejarah dan Matematika. Ketika masa Bani Umayyah, kemajuan dalam bidang pemikiran liberal dan ilmu pengetahuan berhenti karena disibukkan oleh masalah politik dan peperangan. Kegiatan dalam bidang ilmu pengetahuan dimulai sungguh-sungguh di permulaan zaman Bani Abbas, yaitu pada abad ke-8 Masehi. Pada masa Khalifah Al-Mansyur, buku-buku ilmu pengetahuan dan falsafat diterjemahkan pertama kali ke dalam bahasa Arab. Kemajuan ilmu pengetahuan ini dicapai oleh umat Islam di zaman itu, karena mereka berpegang teguh pada ajaran Nabi Muhammad dan berusaha keras untuk melaksanakannya. Ilmu pengetahuan dan peradaban tidak dapat dipisahkan dari kebebasan berfikir. Setelah kebebasan berfikir menjadi kabur dikalangan umat Islam maka mereka menjadi tertinggal dalam kemajuan.[11]
Kemudian dalam urainnya mengenai pemikiran dan filsafat dalam Islam, ia menjelaskan bahwa jiwa yang terdapat dalam Alquran bukanlah jiwa fatalisme, tetapi jiwa kebebasan manusia dalam berbuat, dan jiwa manusia bertanggungjawab atas perbuatannya bahkan manusia memiliki kebebasan dalam menentukan kemauan.
Selanjutnya ia menguraikan peranan yang dipegang golongan Mu’tazilah dalam perkembangan ilmu-pengetahuan dan filsafat dalam Islam. Kaum Mu’tazilah membawa kemajuan ilmu pengetahuan dan filsafat dalam Islam. Melalui Mu’tazilah, rasionalisme Islam meluas ke seluruh masyarakat terpelajar yang ada di kerajaan Islam ketika itu bahkan seluruh perguruan yang letaknya jauh dari Andalusia. Untuk membawa umat Islam kembali pada kemajuan maka harus dibuka kembali pintu ijtihad atau kebebasan akal dalam berfikir.[12]

DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mukti, Alam Pemikiran Islam Modern di India dan Pakistan, Bandung : Penerbit Mizan, 1995.
Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam :Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta : PT. Bulan Bintang, 1992





[1]Mukti Ali, Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, ( Bandung : Penerbit Mizan, 1995 ), hlm. 142
[2]Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan, ( Jakarta : PT Bulan Bintang, 1992 ) , hlm. 181
[3]Ibid., hlm. 181-182
[4]Ibid., hlm. 181-182
[6]Ibid., hlm. 182
[7]Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan, hlm. 182-183
[8]Ibid., hlm. 184
[9]Ibid., hlm. 186
[10]Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan, hlm. 186-187
[11]Ibid., hlm. 187
[12]Ibid., hlm. 188

Tidak ada komentar:

Posting Komentar