Sayyid Amir Ali
A. Latar
belakang kehidupan
Sayyid Amir Ali berasal dari keluarga syi’ah yang di
zaman Nadir Syah ( 1736-1747 ) pindah ke Khurasan di Persia ke India. Keluarga
itu kemudian bekerja di Istana Raja Mughal. Sayyid Amir Ali lahir di Outtack tahun
1849, dan meninggal pada usia tujuh puluh sembilan pada tanggal 3 Agustus 1928
di Susses, Inggris.[1]
Ia memperoleh pendidikan di Perguruan tinggi Muhsiniyya yang berada di dekat
Kalkuta dan dari sinilah ia belajar bahasa Arab. Selanjutnya ia belajar bahasa
dan sastra Inggris serta Hukum Inggris.
Di tahun 1869 ia pergi ke Inggris untuk meneruskan
studi dan selesai tahun 1873 dengan memperoleh kesarjanaan dalam bidang hukum.
Selesai dari studi ia kembali ke India dan pernah bekerja sebagai pegawai
pemerintah Inggris, pengacara, hakim, dan guru besar dalam hukum Islam.ia
terkenal dalam aktivitasnya di bidang politik dan buku karangan beliau yang
berjudul The Spirit Of Islam dan A Short History of the Saracens .[2]
Di tahun 1883 ia diangkat menjadi salah satu dari
ketiga anggota Majlis Wakil Raaja Inggris di India. Ia adalah satu-satunya
anggota Islam dalam Majlis itu. Tahun 1904 ia meninggalkan India dan menetap
untuk selama-lamanya di Inggris, bahkan ia beristrikan wanita Inggris. Disana
ia diangkat menjadi anggota India yang pertama dalam Judicial Committe of Privacy Council pada tahun 1909.[3]
B. Kontribusi
dan Pemikiran
Pada tahun 1877 ia mendirikan National Muhammedan Association, sebagai wadah persatuan umat Islam
dan untuk melatih mereka dalam bidang politik. Setelah berdirinya Liga Muslimin
India di tahun 1906 ia membentuk cabang dari perkumpulan Judicial Committe of Privacy di London. Ketika India menuntut
kemerdekaan untuk India maka ia mengundurkan diri dari Liga Muslimin.[4]
Sayyid Amir Ali juga merupakan seorang pemimpin yang
dekat dengan pemerintahan Inggris di Inida. Dia melihat pemerintahan Inggris
adalah suatu alternatif untuk menghindari pengaruh Hindu setelah memperoleh
kemerdekaan dari kerajaan Inggris.[5]
Sayyid
Amir Ali berpendapat dan berkeyakinan bahwa Islam bukanlah agama yang membawa
kepada kemunduran melainkan membawa kemajuan dengan pembuktian yang ada pada
Sejarah Islam Klasik sehingga ia dicap sebagai penulis orientalis atau
apologis.[6]
Sayyid Amir Ali merupakan pemikir pertama yang
kembali ke sejarah lama untuk membawa bukti bahwa Islam adalah agama rasional
dan agama kemajuan, hal ini ia tuangkan dalam bukunya yang berjudul The Spirit Of Islam yang dicetak pertama
kalinya di tahun 1891. Dalam buku itu ia kupas ajaran-ajaran Islam mengenai
Tauhid, ibadat, hari akhirat, kedudukan wanita, perbudakan, sistem politik, dan
sebagainya. Ia juga menjelaskan kemajuan ilmu pengetahuan dan pemikiran
rasional dan filosofis yang terdapat dalam sejarah Islam. Metode yang ia pakai
adalah metode perbandingan ditambah uraian rasional, ia terlebih dahulu membawa
ajaran-ajaran serupa dari agama lain kemudian menjelaskan bahwa Islam membawa
perbaikan dari ajaran-ajaran yang bersangkutan.[7]
Mengenai ajaran tentang akhirat, umpamanya ia
menjelaskan bahwa keinginan manusia untuk dapat bersatu kembali dengan
orang-orang yang dikasihi dan disayangi, sesudah dipisahkan oleh kematian,
kepercayaan akan hal ini bahkan ada pada ajaran yang dianut bangsa Mesir terdahulu
yakni agama Yahudi yang timbul kemudian. Sayyid Amir Ali menegaskan bahwa di
akhirat nanti tiap orang harus mempertanggungjawabkan segala perbuatannya di
dunia ini. Kesenangan dan kesengsaraan seseorang bergantung pada perbuatannya di
hidup pertama, inilah keyakinan pokok yang harus diterima dalam Islaam mengenai
akhirat.[8]
Selanjutnya ia menjelaskan bahwa ajaran mengenai akhirat itu amat besar
arti dan pengaruhnya dalam mendorong manusia untuk berbuat baik dan menjauhi
perbuatan jahat. Dalam membahas soal perbudakan, Sayyid Amir Ali menerangkan
bahwa sistem perbudakan sudah ada sejak zaman purba dan ada pada masyarakat
manusia seluruhnya. Dalam agama Kristen, tidak ada ajaran untuk menghapus
sistem perbudakan itu. Islam berlainan dengan agama-agama sebelumnya, yang
datang dengan ajaran untuk membebaskan budak. Budak harus diberikan kesempatan
untuk membeli kemerdekaannya dengan upah yang ia peroleh, budak harus pula
diperlakukan dengan baik dan tidak boleh di diskriminasi dengan manusia lain.
Ajaran ini akhirnya membawa kepada penghapusan sistem perbudakan dalam Islam.[9]
Amir Ali berpendapat bahwa kemunduran umat Islam
disebabkan karena umat pada zaman modern menganggap pintu ijtihad telah
tertutup. Orang harus tunduk pada pendapat Ulama abad ke sembilan Masehi, yang
tidak mengetahui kebutuhan abad kedua puluh. Umat Islam Zaman Modern tidak
percaya pada kekuatan akal, sedang Nabi Muhammad memberi penghargaan tinggi dan
mulia terhadap akal manusia. Berbeda dengan ulama sekarang yang cenderung
beranggapan bahwa memuliakan akal merupakan bentuk kejahatan dan dosa.[10]
Perhatian kepada ilmu pengetahuan telah dimulai di
zaman Khulafa’ al-Rasyidin diwujudkan dengan bentuk ceramah oleh Ali ibn Abbas
tentang sasta, tata bahasa, sejarah dan Matematika. Ketika masa Bani Umayyah,
kemajuan dalam bidang pemikiran liberal dan ilmu pengetahuan berhenti karena
disibukkan oleh masalah politik dan peperangan. Kegiatan dalam bidang ilmu
pengetahuan dimulai sungguh-sungguh di permulaan zaman Bani Abbas, yaitu pada
abad ke-8 Masehi. Pada masa Khalifah Al-Mansyur, buku-buku ilmu pengetahuan dan
falsafat diterjemahkan pertama kali ke dalam bahasa Arab. Kemajuan ilmu
pengetahuan ini dicapai oleh umat Islam di zaman itu, karena mereka berpegang
teguh pada ajaran Nabi Muhammad dan berusaha keras untuk melaksanakannya. Ilmu
pengetahuan dan peradaban tidak dapat dipisahkan dari kebebasan berfikir.
Setelah kebebasan berfikir menjadi kabur dikalangan umat Islam maka mereka
menjadi tertinggal dalam kemajuan.[11]
Kemudian dalam urainnya mengenai pemikiran dan
filsafat dalam Islam, ia menjelaskan bahwa jiwa yang terdapat dalam Alquran
bukanlah jiwa fatalisme, tetapi jiwa kebebasan manusia dalam berbuat, dan jiwa
manusia bertanggungjawab atas perbuatannya bahkan manusia memiliki kebebasan
dalam menentukan kemauan.
Selanjutnya ia menguraikan peranan yang dipegang
golongan Mu’tazilah dalam perkembangan ilmu-pengetahuan dan filsafat dalam
Islam. Kaum Mu’tazilah membawa kemajuan ilmu pengetahuan dan filsafat dalam
Islam. Melalui Mu’tazilah, rasionalisme Islam meluas ke seluruh masyarakat
terpelajar yang ada di kerajaan Islam ketika itu bahkan seluruh perguruan yang
letaknya jauh dari Andalusia. Untuk membawa umat Islam kembali pada kemajuan
maka harus dibuka kembali pintu ijtihad atau kebebasan akal dalam berfikir.[12]
DAFTAR
PUSTAKA
Ali,
Mukti, Alam Pemikiran Islam Modern di
India dan Pakistan, Bandung : Penerbit Mizan, 1995.
Nasution,
Harun, Pembaharuan dalam Islam :Sejarah
Pemikiran dan Gerakan, Jakarta : PT. Bulan Bintang, 1992
https://syamsulrahmi.wordpress.com/2011/02/04/sayyid-amir-ali/
diakses pada senin, 24 Oktober
[1]Mukti Ali, Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, ( Bandung : Penerbit
Mizan, 1995 ), hlm. 142
[2]Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran
dan Gerakan, ( Jakarta : PT Bulan Bintang, 1992 ) , hlm. 181
[3]Ibid., hlm. 181-182
[4]Ibid., hlm. 181-182
[5][5]https://syamsulrahmi.wordpress.com/2011/02/04/sayyid-amir-ali/ diakses pada senin, 24 Oktober
2016
[6]Ibid., hlm. 182
[7]Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran
dan Gerakan, hlm. 182-183
[8]Ibid., hlm. 184
[9]Ibid., hlm. 186
[10]Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran
dan Gerakan, hlm. 186-187
[11]Ibid., hlm. 187
[12]Ibid., hlm. 188
Tidak ada komentar:
Posting Komentar